Sabtu, 19 September 2015

Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khatthab


 SYAHIDNYA UMAR, UCAPAN DUKA DAN KELUARGANYA

1.   Kabar gembira tentang syahidnya Umar

Khalifah seperti Umar ini tidak dibiarkan begitu saja oleh para pemimpin kejahatan dan kezhaliman. Mereka tidak pernah rela dijatuhkan dari kekuasaannya dan diturunkan dari kemuliaannya.
Rencana jahat kelompok Yahudi, kemarahan bangsa Persia, dan sakit hati kaum Romawi tidak akan membiarkan Abu Hafsh meninggal dengan tenang di perbaringannya seperti manusia pada umumnya, Maka kekuatan tersebut merencanakan suatu pembunuhan pada suatu malam yang gelap gulita.
Sementara Amirul mukminin Radiyallahu ‘Anhu selalu mengharapkan mati syahid dan amat yakin dia akan memperolehnya. Selalu terbayang dalam ingatannya sebuah peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam naik ke atas gunung Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Waktu itu gunung Uhud bergetar. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Uhud, di atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”
Sejak peristiwa itu jiwa Umar selalu merindukan terwujudnya kabar gembira tersebut dan selalu berharap untuk memperoleh kedudukan yang mulia itu. Umar kerap berdoa, “Ya Allah, anugrahkan kepadaku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan tempat kematianku di negeri Rasul-Mu.”
Mendengar doa tersebut putrinya Hafshah bertanya, “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?”
Umar menjawab, “Sesungguhnya Allah mewujudkan sesuatu sesuai kehendak-Nya.”
Ketika Umar sedang bersama para shahabatnya, tiba-tiba dia teringat sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, “Ini adalah pintu penutup fitnah –seraya menunjuk ke arah Umar-. Akan selalu ada pintu yang tertutup rapat antara kalian dan fitnah selama orang ini masih ada bersama kalian.”
Maka Umar bertanya kepada orang-orang yang ada bersamanya, “Siapa di antara kalian menghafal sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang fitnah?” Hudzaifah menjawab, “Saya hafal sabda tersebut.” Umar berkata, “Coba bacakan, sesungguhnya engkau seorang pemberani.” Hudzaifah berkata, “Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, ”Fitanah seseorang pada keluarganya, hartanya, dan tetangganya bisa dihapuskan dosanya dengan Shalat, Sedekah, dan memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”
Umar menyanggah, “Bukan yang ini, akan tetapi fitnah yang datang bergelombang seperti gelombang lautan!” Hudzaifah berkata, “Engkau tidak bermasalah dengannya wahai Amirul mukminin, sesungguhnya diantaramu dan fitnah itu ada pintu yang tertutup.”
Umar bertanya, “Apakah pintunya didobrak atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Didobrak.” Umar berkata, “Kalau begitu layak tidak tertutup selamanya.” Kami bertanya pada Hudzaifah, “Apakah Umar tahu siapakah pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya, seperti halnya ia tahu bahwa yang menghalangi hari ini dan hari esok adalah malam hari. Aku menceritakan sebuah hadits yang tidak ada kekeliruan padanya.” Kami suruh Masruq (Masruq bin Ajda’, dari kalangan tabi’in) bertanya pada Hudzaifah. Ia pun bertanya, “Siapa pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Umar.”
Pada jum’at terakhir dari periode kekhalifahannya Umar berkhutbah di depan khalayak. Setelah memuji Allah dia berkata, “Amma ba’du, wahai jamaah sekalian, saya kedatangan mimpi yang tidak akan mendatangiku kecuali menjadi tanda datangnya ajalku. Saya melihat seekor ayam jantan mematuk diriku dengan paruhnya dua kali. Saya lalu menceritakannya pada Asma’ binti Umais. Dia berkata bahwa saya akan dibunuh oleh orang asing.”
2. Syahidnya Umar dan pemakamannya di dekat Nabi dan Abu Bakar
Mughirah bin Syu’bah memiliki seorang budak pekerja bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz yang berasal dari kalangan Majusi, berkebangsaan Romawi. Mughirah meminta izin kepada Umar untuk membawanya masuk ke Madinah karena dia memiliki keterampilan yang akan bermanfaat untuk orang banyak; dia seorang pandai besi, ahli pertukangan, dan ukiran. (Umar pernah menetapkan peraturan yang melarang tawanan dewasa dibawa masuk ke kota Madinah) Maka Umar pun mengizinkan.
Abu Lu’lu’ah memendam keinginan untuk membunuh Umar. Maka dia mempersiapkan sebilah pisau besar bermata dua, pegangannya di bagian tengah pisau, di tajamkan dan dilumuri racun. Pada waktu subuh hari Rabu, empat hari terakhir dari bulan Zulhijjah, orang kafir ini bersembunyi di salah satu sudut masjid di penghujung malam menunggu malam keluar.
Amr bin Maimun yang waktu itu shalat subuh di belakang Umar meriwayatkan kisah tragis tersebut. Dia berkata, “Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan dia kecuali Abdullah bin Abbas pad subuh hari pada saat Umar terkena musibah. Subuh itu, Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf dan berkata, “Luruskanlah shaf.”
Ketika dia sudah tidak melihat lagi celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka Umar maju lalu bertabir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau An-Nahl atau seperti surat itu pada raka’at pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam shalat. Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak, “Ada orang yang telah membunuhku, atau katanya, “seekor anjing telah menerkamku”, rupanya ada seorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati orang-orang disebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikam pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai pembunuh itu. Dan ketika dia menyadari bahwa dia pasti tertangkap (tak lagi bisa menghindar), dia bunuh diri.
Umar memegang tangan Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan Umar pasti dapat meilihat apa yang aku lihat. Adapun orang-orang yang berda di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berseru, “Subhanallah, Subhanallah (maha suci Allah).” Maka Abdurrahman melanjutkan shalat jamaah secara ringan. Setelah shalat selesai, Umar bertanya, “Wahai Ibnu Abbas, lihatlah siapa yang telah menikamku.” Ibnu Abbas berkeliling sesaat lalu kembali, “Budaknya Mughirah.”
Umar bertanya, “Budak yang pandai membuat pisau itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, benar.” Umar berkata, “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat makruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka bila orang kafir non arab banyak berkeliaran di Madinah.” Abbas adalah orang yang paling banyak memiliki budak. Ibnu Abbas berkata, “Jika anda menghendaki, aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan membunuhnya.” Umar berkata, “Kamu salah, (sebab mana kalian boleh membunuhnya) padahal mereka telah terlanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat menghadap kiblat kalian, dan naik haji seperti haji kalian.” Kemudian Umar dibawah ke rumahnya dan kami ikut menyertainya.
Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkenah seperti hari itu sebelumnya. Di antara mereka ada yang berkata, “Dia tidak apa-apa.” Dan ada juga yang berkata, “Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya.” Kemudian Umar disuguhi minuman anggur lalu dia meminumnya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi susu dan dia pun meminumnya lagi namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyadari bahwa Umar sefera akan meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu orang-orang berdatangan dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata, “Berbahagialah anda, wahai Amirul mukminin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda karena telah hidup dengan mendampingi (menjadi shahabat) Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan yang terdahulu menerima Islam sebagaimana yang anda ketahui. Lalu anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil, kemudian anda mati syahid.” Umar berkata, “Aku sudah merasa senang jika akhir kekhalifahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan tidak mendapat pahala. “Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakiannya menyentuh tanah, maka Umar berkata, “Bawa kembali pemuda itu kepadaku.”
Umar bertanya padanya, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu karena demikian lebih mensucikanmu (dari najis) dan lebih membuatmu bertakwa kepada rabbmu. Wahai Abdullah bin Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku.” Maka mereka menghitung nya dan mendapat hasilnya sebesar delapan puluh enam ribu atau sekitar itu. Umar berkata, “Jika harta keluarga Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani  Adi bin Ka’Abu Bakar. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. Temuilah Aisyah, Ummul mukminin Radiyallahu ‘Anha.
Ternyata Abdullah bin Umar mendapatkan Aisyah sedang menangis. Lalu dia berkata, “Umar bin Khaththab menyampaikan salam buat anda dan meminta izin agar boleh dikuburkan di samping kedua shahabatnya (Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan Abu Bakar Radiyallahu ‘Anhu).” Aisyah berkata, “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak mementingkan diriku.” Ketika Abdullah bin Umar kemabali dikatakan kepada Umar, “Ini dia, Abdullah bin Umar sudah datang.” Maka Umar berkata, “Angkatlah aku.” Maka seorang laki-laki datang menopangnya. Umar bertanya, “Berita apa yang kamu bawah?” Ibnu Umar menjawab, “Berita yang anda sukai, wahai Amirul mukminin. Aisyah telah mengizinkan anda.”
Umar berkata, “Alhamdulillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu katakan bahwa Umar bin Khaththab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke kuburan kaum Muslimin.”
Kemudian Hafshah, Ummul mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar agar mereka bisa masuk. Maka kami dengar tangisan Hafshah dari balik kamar.
**baca selanjutnya**









0 komentar:

Posting Komentar