SYAHIDNYA UMAR, UCAPAN DUKA DAN
KELUARGANYA
1.
Kabar gembira tentang syahidnya
Umar
Khalifah
seperti Umar ini tidak dibiarkan begitu saja oleh para pemimpin kejahatan dan
kezhaliman. Mereka tidak pernah rela dijatuhkan dari kekuasaannya dan
diturunkan dari kemuliaannya.
Rencana jahat
kelompok Yahudi, kemarahan bangsa Persia, dan sakit hati kaum Romawi tidak akan
membiarkan Abu Hafsh meninggal dengan tenang di perbaringannya seperti manusia
pada umumnya, Maka kekuatan tersebut merencanakan suatu pembunuhan pada suatu
malam yang gelap gulita.
Sementara
Amirul mukminin Radiyallahu ‘Anhu selalu mengharapkan mati syahid dan amat
yakin dia akan memperolehnya. Selalu terbayang dalam ingatannya sebuah
peristiwa ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam naik ke atas gunung
Uhud bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Waktu itu gunung Uhud bergetar. Maka
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Tenanglah wahai Uhud, di
atasmu hanyalah seorang Nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”
Sejak
peristiwa itu jiwa Umar selalu merindukan terwujudnya kabar gembira tersebut
dan selalu berharap untuk memperoleh kedudukan yang mulia itu. Umar kerap
berdoa, “Ya Allah, anugrahkan kepadaku mati syahid di jalan-Mu dan jadikan
tempat kematianku di negeri Rasul-Mu.”
Mendengar doa
tersebut putrinya Hafshah bertanya, “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?”
Umar menjawab,
“Sesungguhnya Allah mewujudkan sesuatu sesuai kehendak-Nya.”
Ketika Umar
sedang bersama para shahabatnya, tiba-tiba dia teringat sabda Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam, “Ini adalah pintu penutup fitnah –seraya menunjuk
ke arah Umar-. Akan selalu ada pintu yang tertutup rapat antara kalian dan
fitnah selama orang ini masih ada bersama kalian.”
Maka Umar
bertanya kepada orang-orang yang ada bersamanya, “Siapa di antara kalian
menghafal sabda Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam tentang fitnah?”
Hudzaifah menjawab, “Saya hafal sabda tersebut.” Umar berkata, “Coba bacakan,
sesungguhnya engkau seorang pemberani.” Hudzaifah berkata, “Rasulullah
Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda, ”Fitanah seseorang pada keluarganya,
hartanya, dan tetangganya bisa dihapuskan dosanya dengan Shalat, Sedekah, dan
memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”
Umar
menyanggah, “Bukan yang ini, akan tetapi fitnah yang datang bergelombang
seperti gelombang lautan!” Hudzaifah berkata, “Engkau tidak bermasalah
dengannya wahai Amirul mukminin, sesungguhnya diantaramu dan fitnah itu ada
pintu yang tertutup.”
Umar bertanya,
“Apakah pintunya didobrak atau dibuka?” Hudzaifah menjawab, “Didobrak.” Umar
berkata, “Kalau begitu layak tidak tertutup selamanya.” Kami bertanya pada
Hudzaifah, “Apakah Umar tahu siapakah pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Ya,
seperti halnya ia tahu bahwa yang menghalangi hari ini dan hari esok adalah
malam hari. Aku menceritakan sebuah hadits yang tidak ada kekeliruan padanya.”
Kami suruh Masruq (Masruq bin Ajda’, dari kalangan tabi’in) bertanya pada
Hudzaifah. Ia pun bertanya, “Siapa pintu itu?” Hudzaifah menjawab, “Umar.”
Pada jum’at
terakhir dari periode kekhalifahannya Umar berkhutbah di depan khalayak.
Setelah memuji Allah dia berkata, “Amma ba’du, wahai jamaah sekalian, saya
kedatangan mimpi yang tidak akan mendatangiku kecuali menjadi tanda datangnya
ajalku. Saya melihat seekor ayam jantan mematuk diriku dengan paruhnya dua
kali. Saya lalu menceritakannya pada Asma’ binti Umais. Dia berkata bahwa saya
akan dibunuh oleh orang asing.”
2. Syahidnya Umar dan pemakamannya di dekat Nabi dan Abu Bakar
Mughirah bin
Syu’bah memiliki seorang budak pekerja bernama Abu Lu’lu’ah Fairuz yang berasal
dari kalangan Majusi, berkebangsaan Romawi. Mughirah meminta izin kepada Umar
untuk membawanya masuk ke Madinah karena dia memiliki keterampilan yang akan
bermanfaat untuk orang banyak; dia seorang pandai besi, ahli pertukangan, dan
ukiran. (Umar pernah menetapkan peraturan yang melarang tawanan dewasa dibawa
masuk ke kota Madinah) Maka Umar pun mengizinkan.
Abu Lu’lu’ah
memendam keinginan untuk membunuh Umar. Maka dia mempersiapkan sebilah pisau
besar bermata dua, pegangannya di bagian tengah pisau, di tajamkan dan dilumuri
racun. Pada waktu subuh hari Rabu, empat hari terakhir dari bulan Zulhijjah,
orang kafir ini bersembunyi di salah satu sudut masjid di penghujung malam
menunggu malam keluar.
Amr bin Maimun
yang waktu itu shalat subuh di belakang Umar meriwayatkan kisah tragis
tersebut. Dia berkata, “Aku berdiri dan tidak ada seorangpun antara aku dan dia
kecuali Abdullah bin Abbas pad subuh hari pada saat Umar terkena musibah. Subuh
itu, Umar hendak memimpin shalat dengan melewati barisan shaf dan berkata,
“Luruskanlah shaf.”
Ketika dia
sudah tidak melihat lagi celah-celah dalam barisan shaf tersebut, maka Umar
maju lalu bertabir. Sepertinya dia membaca surat Yusuf atau An-Nahl atau
seperti surat itu pada raka’at pertama hingga memungkinkan semua orang
bergabung dalam shalat. Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali
ucapan takbir tiba-tiba terdengar dia berteriak, “Ada orang yang telah
membunuhku, atau katanya, “seekor anjing telah menerkamku”, rupanya ada seorang
yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melewati
orang-orang disebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikam pula hingga dia
telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang
diantaranya meninggal dunia. Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat
kejadian itu, dia melemparkan baju mantelnya dan tepat mengenai pembunuh itu.
Dan ketika dia menyadari bahwa dia pasti tertangkap (tak lagi bisa menghindar),
dia bunuh diri.
Umar memegang
tangan Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang
berada dekat dengan Umar pasti dapat meilihat apa yang aku lihat. Adapun
orang-orang yang berda di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa
yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berseru,
“Subhanallah, Subhanallah (maha suci Allah).” Maka Abdurrahman melanjutkan
shalat jamaah secara ringan. Setelah shalat selesai, Umar bertanya, “Wahai Ibnu
Abbas, lihatlah siapa yang telah menikamku.” Ibnu Abbas berkeliling sesaat lalu
kembali, “Budaknya Mughirah.”
Umar bertanya,
“Budak yang pandai membuat pisau itu?” Ibnu Abbas menjawab, “Ya, benar.” Umar
berkata, “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat
makruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di
tangan orang yang mengaku beragama Islam. Sungguh dahulu kamu dan bapakmu suka
bila orang kafir non arab banyak berkeliaran di Madinah.” Abbas adalah orang
yang paling banyak memiliki budak. Ibnu Abbas berkata, “Jika anda menghendaki,
aku akan kerjakan apapun. Maksudku, jika kamu menghendaki kami akan
membunuhnya.” Umar berkata, “Kamu salah, (sebab mana kalian boleh membunuhnya)
padahal mereka telah terlanjur bicara dengan bahasa kalian, shalat menghadap
kiblat kalian, dan naik haji seperti haji kalian.” Kemudian Umar dibawah ke
rumahnya dan kami ikut menyertainya.
Saat itu
orang-orang seakan-akan tidak pernah terkenah seperti hari itu sebelumnya. Di
antara mereka ada yang berkata, “Dia tidak apa-apa.” Dan ada juga yang berkata,
“Aku sangat mengkhawatirkan nasibnya.” Kemudian Umar disuguhi minuman anggur
lalu dia meminumnya namun makanan itu keluar lewat perutnya. Kemudian diberi
susu dan dia pun meminumnya lagi namun susu itu keluar melalui lukanya.
Akhirnya orang-orang menyadari bahwa Umar sefera akan meninggal dunia. Maka
kami pun masuk menjenguknya lalu orang-orang berdatangan dan memujinya.
Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata, “Berbahagialah anda, wahai
Amirul mukminin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda karena telah hidup
dengan mendampingi (menjadi shahabat) Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam
dan yang terdahulu menerima Islam sebagaimana yang anda ketahui. Lalu anda
diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil,
kemudian anda mati syahid.” Umar berkata, “Aku sudah merasa senang jika akhir
kekhalifahanku berakhir netral, aku tidak terkena dosa dan tidak mendapat
pahala. “Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakiannya menyentuh tanah, maka Umar
berkata, “Bawa kembali pemuda itu kepadaku.”
Umar bertanya
padanya, “Wahai saudaraku, angkatlah pakaianmu karena demikian lebih
mensucikanmu (dari najis) dan lebih membuatmu bertakwa kepada rabbmu. Wahai
Abdullah bin Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku.”
Maka mereka menghitung nya dan mendapat hasilnya sebesar delapan puluh enam
ribu atau sekitar itu. Umar berkata, “Jika harta keluarga Umar mencukupi
bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka
mintalah kepada Bani Adi bin Ka’Abu
Bakar. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada
masyarakat Quraisy dan jangan mengesampingkan mereka dengan meminta selain
mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. Temuilah Aisyah, Ummul
mukminin Radiyallahu ‘Anha.
Ternyata
Abdullah bin Umar mendapatkan Aisyah sedang menangis. Lalu dia berkata, “Umar
bin Khaththab menyampaikan salam buat anda dan meminta izin agar boleh
dikuburkan di samping kedua shahabatnya (Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam
dan Abu Bakar Radiyallahu ‘Anhu).” Aisyah berkata, “Sebenarnya aku juga
menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak mementingkan
diriku.” Ketika Abdullah bin Umar kemabali dikatakan kepada Umar, “Ini dia,
Abdullah bin Umar sudah datang.” Maka Umar berkata, “Angkatlah aku.” Maka
seorang laki-laki datang menopangnya. Umar bertanya, “Berita apa yang kamu
bawah?” Ibnu Umar menjawab, “Berita yang anda sukai, wahai Amirul mukminin.
Aisyah telah mengizinkan anda.”
Umar berkata,
“Alhamdulillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu.
Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu
katakan bahwa Umar bin Khaththab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka
masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke
kuburan kaum Muslimin.”
Kemudian
Hafshah, Ummul mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala
kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada Umar
lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin
masuk, maka Hafshah masuk ke kamar agar mereka bisa masuk. Maka kami dengar
tangisan Hafshah dari balik kamar.
**baca
selanjutnya**
0 komentar:
Posting Komentar