بسم الله
الرحمن الرحيم
Imam Asy
Syafi’i rahimahullah berkata :
وَجِمَاعُ هَذَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِلَّا حَدِيثٌ
ثَابِتٌ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلَّا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ، فَإِذَا
كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولًا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ كَمَا لَمْ
يَأْتِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ
“Kesimpulan dari semua
ini, bahwa tidaklah (sebuah hadits) diterima kecuali hadits yang
valid, sebagaimana tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg
dikenal adilnya. Sehingga apabila hadits itu tidak diketahui atau dibenci
perawinya, maka seakan hadits itu tidak ada, karena ketidak-validannya”
(kitab Ma’rifat
Sunan Wal Atsar, karya Imam Al Baihaqi, 1/180).
Karena sikap seperti
inilah Imam Syafi’i dijuluki sebagai “Naashirussunnah” (Pembela Sunnah Nabi).
Beliau tidaklah berdalil dengan hadits, kecuali bila hadits tersebut bisa
dipertanggung-jawabkan kevalidannya.
Namun sayang banyak dari
orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya, bermudah-mudahan dalam berdalil
dengan hadits lemah.
Parahnya lagi, bila kita
mengatakan kepada mereka bahwa haditsnya lemah, maka langsung saja kita dicap
sebagai Wahabi! Wallahul musta’an, tidakkah mereka merenungi perkataan
Imam Asy Syafi’i –rahimahullah– di atas?!
Allahu yahdiina wa
iyyaahum.
Artikel : muslim.or.id
0 komentar:
Posting Komentar