بسم الله الرحمن
الرحيم
Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ:
رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ القُرْآنَ، فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ، وَآنَاءَ
النَّهَارِ، فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ، فَقَالَ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا
أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا
فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الحَقِّ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا
أُوتِيَ فُلاَنٌ، فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ
“Tidak ada (sifat) iri
(yang terpuji) kecuali pada dua orang: seorang yang dipahamkan oleh Allah
tentang al-Qur-an kemudian dia membacanya di waktu malam dan siang hari, lalu
salah seorang tetangganya mendengarkan (bacaan al-Qur-an)nya dan berkata:
“Duhai kiranya aku diberi (pemahaman al-Qur-an) seperti yang diberikan kepada
si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan seperti (membaca al-Qur-an) seperti
yang diamalkannya. Dan seorang yang dilimpahkan oleh Allah baginya harta (yang
berlimpah) kemudian dia membelanjakannya di (jalan) yang benar, lalu ada orang
lain yang berkata: “Duhai kiranya aku diberi (kelebihan harta) seperti yang
diberikan kepada si Fulan, sehingga aku bisa mengamalkan (bersedekah di jalan
Allah) seperti yang diamalkannya” (HR. Al-Bukhari).
Maksud
“iri/cemburu” dalam hadits ini adalah iri yang benar dan tidak tercela, yaitu
al-gibthah, yang artinya menginginkan nikmat yang Allah berikan kepada orang
lain tanpa mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang tersebut.
Coba
perhatikan dan renungkan hadits ini dengan seksama. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallammenyebutkan dua golongan manusia yang pantas untuk dicemburui,
yaitu orang yang memahami al-Qur’an dan mengamalkannya serta orang yang
memiliki harta dan menginfakkannya di jalan Allah.
Dalam
hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan sebab yang
menjadikan mereka pantas untuk dicemburui, bukan karena kelebihan dunia semata
yang mereka miliki, tapi karena mereka mampu untuk menundukkan hawa nafsu yang
mencintai dunia secara berlebihan, sehingga harta yang mereka miliki tidak
menghalangi mereka untuk meraih keutamaan tinggi di sisi Allah.
Inilah
kelebihan sejati yang pantas dicemburui, adapun kelebihan harta atau kedudukan
duniawi semata maka ini sangat tidak pantas untuk dicemburui, karena ini
hakikatnya bukan merupakan kelebihan tapi celaan dan fitnah bagi manusia,
sebagaimana sabda Rasulullah s shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan
mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta” (HR. At-Tirmizi)
Oleh
karena itu, cemburu dan iri hanya karena kelebihan harta yang dimiliki
seseorang tanpa melihat bagaimana penggunaan harta tersebut, ini adalah sifat
yang sangat tercela. Allah berfirman tentang orang-orang yang iri melihat harta
kekayaan Qarun:
“Maka
keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan perhiasannya (harta bendanya).
Orang-orang yang menginginkan kehidupan dunia berkata: “Duhai kiranya kami
mempunyai harta kekayaan seperti yang diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia
benar-benar memiliki keberuntungan yang besar. Tetapi orang-orang yang
dianugerahi ilmu berkata: “Celakalah kalian! Ketahuilah, pahala Allah lebih
baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan (pahala yang besar)
itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar. Maka kami benamkan dia (Qarun)
bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya satu golongan pun yang
(mampu) menolongnya selain Allah, dan dia tidak termasuk orang-orang yang dapat
membela diri. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mengangan-angankan kedudkan
(harta benda) Qarun itu berkata: “Aduhai, benarlah kiranya Allah yang
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya
dan membatasi (bagi siapa yang Dia dikehendaki di antara hamba-hamba-Nya).
Sekiranya Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, tentu Dia telah
membenamkan kita pula. Aduhai, benarlah kiranya tidak akan beruntung
orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah)” (QS. Al Qashash: 79-92)
Adapun
contoh sikap cemburu yang benar adalah sikap cemburu dalam kebaikan yang
ditunjukkan oleh orang-orang yang sempurna iman mereka, para shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits berikut:
Dari
Abu Hurairah radhiallahu’anhu dia berkata: Orang-orang miskin (dari para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pernah datang menemui beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang
berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi
(di sisi Allah Ta’ala) dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka
melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa
seperti kami berpuasa, tapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan
untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad dan sedekah, sedangkan kami tidak
memiliki harta…”. Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah kerunia (dari) Allah yang
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya“(HR. Bukhari).
Imam
Ibnu Hajar berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih
utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Ta’ala) pada (harta)
kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti
yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya”.
Kesimpulannya,
termasuk orang yang pantas dicemburui, bahkan kecemburuan tersebut dipuji dalam
Islam adalah orang yang memiliki kelebihan dalam harta tapi dia selalu
menginfakkan hartanya di jalan Allah. Karena kecemburuan ini dapat menjadi
motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan yang diperintahkan dalam agama.
Allah berfirman:
“Maka
berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan” (QS al-Baqarah: 148).
Jadi
cemburu dan iri kepada kelebihan harta yang dimiliki seseorang bukan karena
kelebihan harta yang dimilikinya semata-mata, akan tetapi karena motivasi
kebaikan besar yang dimilikinya dengan banyak membelanjakan hartanya di jalan
Allah. Inilah sebaik-baik harta yang dimiliki oleh orang yang beriman,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Sebaik-baik harta
yang shaleh (penuh berkah) adalah untuk hamba yang shaleh”.
Adapun
sifat rakus dan ambisi berlebihan terhadap harta tanpa mempertimbangkan
keberkahan dan manfaatnya dalam meraih keridhaan Allah maka ini perbuatan
tercela dan sebab yang akan merusak keimanan seorang hamba, serta menjadikannya
jauh dari segala kebaikan dunia dan akhirat.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan
utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan
kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia
tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah
tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan
utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu
merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya
dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)”(HR. Ibnu Majah).
0 komentar:
Posting Komentar