بسم الله الرحمن
الرحيم
Hewan yang disukai dan lebih utama
untuk diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan
adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang
artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya
itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (Qs. Al Hajj: 32) Berdasarkan ayat ini
Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan
untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan,“Dahulu
kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang
kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang
gemuk-gemuk.”(HR. Bukhari secara mu’allaq namun disampaikan dengan kalimat
tegas dan disambungkan sanadnya oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya
hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban
maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta,
kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung
satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih
utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam
pandangan pemiliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/374)
Manakah yang lebih baik, ikut urunan
sapi atau qurban satu kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu
kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing
manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375,
Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu,
terdapat alasan lain diantaranya:
1. Qurban
yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik
kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
2. Kegiatan
menyembelihnya menjadi lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan
keutamaan qurban di atas statusnya shahih (lih. Hadis pada pembahasan keutamaan
berqurban). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab
Al Muhadzab As Saerozi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74).
3. Terdapat
sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti
Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun
pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan
dalil sunnah, sehingga jelas salahnya. Akan tetapi, berqurban dengan satu ekor
binatang utuh, setidaknya akan mengeluarkan kita dari perselisihan ulama.
Apakah harus jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin
hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Ummu Kurzin radhiallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anak laki-laki
dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun
betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al
Albani). Berdasarkan hadis ini, As Saerozi As Syafi’i mengatakan: “Jika
dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan
bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih
baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus
hewan jantan namun diutamakan jantan.
Laranganbagi yang hendak berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang
memotong kuku dan memotong rambutnya. Yang dilarang untuk dipotong kuku dan
rambutnya di sini adalah orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya. Dari
Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila
engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan
diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian
dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)
Larangan tersebut berlaku untuk cara
apapun dan untuk bagian kuku maupun rambut manapun. Artinya mencakup larangan
mencukur gundul atau mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik
rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat
Shahih Fiqih Sunnah II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku
untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk semua anggota keluarga
shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku
untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota
keluarganya. Karena 2 alasan:
• Dlahir
hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
• Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya.
Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau melarang anggota keluarganya
untuk memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada
hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih
(qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun
malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al
Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33).
Kemudian, para ulama sepakat bahwa
menyembelih qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul
Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya
sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu
maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR.
Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah II/377)
Tempat penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk
menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ied diselenggarakan. Terutama
bagi tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam
rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan
sekaligus mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan,“Dahulu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta
(qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552)
Akan tetapi, dibolehkan untuk
menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri
ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Siapakah yang menyembelih qurban?
Dianjurkan bagi shohibul qurban untuk
menyembelih hewan qurbannya sendiri jika mampu menyembelih dengan baik. Namun
boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya
tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah
ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam
Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallampernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan
beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih.Ahkaamul Idain, 32)
Tata cara penyembelihan
1. Sebaiknya
pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri jika mampu menyembelih
dengan baik.
2. Apabila
pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang
menyaksikan penyembelihannya.
3. Hendaknya
memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
4. Hewan
yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan posisi kaki-kakinya ke
arah kiblat.
5. Leher
hewan diinjak dengan telapak kaki kanan penyembelih, sebagaimana yang dilakukan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya
cepat putus.
6. Ketika
akan menyembelih disyari’akan membaca bismillaahi wallaahu akbar ketika
menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar
Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan
menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu Akbar –
para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah
sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
– hadza minka wa laka. (HR. Abu Dawud
2795) Atau
– hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an
fulan (disebutkan nama shahibul qurban). atau
– Berdoa agar Allah menerima qurbannya
dengan doa, Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul
qurban) (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)
Catatan: Tidak terdapat do’a khusus
yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah mengucapkan shalawat ketika
menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat
ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
1. Tidak
terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat
ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
2. Bisa
jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallamsebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang
membayangkan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga
sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan hasil sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan
memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
1. Dimakan
sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib
makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena
nadzar menurut pendapat yang benar.
2. Disedekahkan
kepada orang yang membutuhkan.
3. Dihadiahkan
kepada orang yang kaya.
4. Disimpan
untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika
tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa diantara kalian
yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah hari
raya sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun
berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus
melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang)
Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi
simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan)
sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Menurut mayoritas ulama perintah yang
terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih
Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil
sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk disedekahkan seluruhnya
kepada orang miskin dan sedikitpun tidak diberikan kepada orang kaya.
(Minhaajul Muslim, 266).
Bolehkah memberikan daging qurban
kepada orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat
makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir. Imam Malik mengatakan:
“(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan Syafi’iyah
berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban
yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah.
(lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’i mengatakan:
“Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian
qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang miskin. Tapi ketentuan ini tidak berlaku
untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi
Arabia) ditanya tentang hukum memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban
kepada orang kafir Mu’ahid [1] baik karena statusnya sebagai orang miskin,
kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak
dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban
kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan
mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan
firman Allah, yang artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakrradhiallahu ‘anhu untuk
menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa
Lajnah Daimah no. 1997)
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan
qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan
sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah
kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak
kuat karena tidak berdalil.
Larangan memperjual-belikan hasil
sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan
bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang
maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhumengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi
penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan
semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan
memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis
berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Barang siapa yang menjual
kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim
2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual
kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah
menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka
pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
• Termasuk
memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan
daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat
jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
• Transaksi
jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak
sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan
pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana
perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping
transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan
qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di
atas). (Fiqh Syafi’i 2/311).
• Bagi
orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya,
baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya.
Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan
(disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Nasehat & Solusi untuk masalah
kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa
ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’
menjual kulit atau mengupah jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah
jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi
kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan???
Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum
muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh
Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena
bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai
syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit
menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama
maupun yang ngaku-ngaku ulama. Karena manusia yang berhak untuk ditaati secara
mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot.
Bukankah Ali bin Abi Thalib t pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan
sejarah bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan
kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang secara penuh
mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa
bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
• Kumpulkan
semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin
sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup
hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah
menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah
sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari
shohibul qurban dalam menjual kulit.
• Serahkan
semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan
atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan
bagian hewan qurban kepada yayasan).
Larangan mengupah jaga dengan bagian
hewan sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari
sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana.
Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari
dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang
kami pribadi.”(HR. Muslim). Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat
Shahih Fiqih Sunnah, II/379).
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan,
“Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas
pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan
adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau
sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…” (Taudhihul Ahkaam, IV/464).
Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram
menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini
dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan
jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah
bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh
hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya,
bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan
menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya
(Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih satu kambing untuk
makan-makan panitia? Atau Panitia dapat jatah khusus?
Status panitia maupun jagal dalam
pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan
amil[2]. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak
diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam
mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi
kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta
kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk
mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan
biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini
diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang
akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.” Status
Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban.
Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil
bagian qurban sebagai ganti dari jasanya.
Oleh karena itu, jika menyembelih satu
kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai
ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
Namun hal ini bukan berarti bahwa
panitia tidak mendapat jatah dari hewan qurban. Yang tidak boleh adalah ketika
panitia mendapatkan jatah lebih dalam pembagian hewan qurban, baik itu
bentuknya sudah matang maupun daging mentah, sebagai ganti dari jasa mereka
yang telah mengurusi hewan qurban. panitia tetap mendapatkan jatah qurban namun
jatah mereka sama dengan jatah yang diberikan kepada warga lainnya.
Agar tidak meninggalkan kerancuan,
kita perhatikan dua contoh cara pembagian qurban yang dibolehkan dan pembagian
yang terlarang, sebagai berikut:
Contoh cara pembagian yang dibolehkan:
warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah
dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½
kg daging kambing. Semua merata tanpa memperhatikan status, baik panitia maupun
bukan panitia.
Contoh cara pembagian yang terlarang
1: warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah
dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½
Kg daging kambing. Khusus untuk panitia mendapat jatah tambahan masing-masing ½
Kg daging sapi sebagai ganti jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban.
Dalam keluarga Pak Ahmad ada 4 orang yang terlibat sebagai panitia, yaitu Pak
Ahmad, Bu Ahmad, dan 2 putranya. Sehingga keluarga Pak Ahmad mendapat jatah 4
Kg daging sapi dan ½ Kg daging kambing. Keluarga Pak Ahmad mendapat kelebihan
jatah 2 Kg sapi karena anggota keluarganya yang terlibat 4 orang x ½ Kg = 2 Kg.
Contoh cara pembagian yang terlarang
2: Sebagai bentuk imbal jasa bagi panitia qurban maka takmir mengambil 1 ekor
kambing untuk disembelih sebagai jamuan makan bersama bagi panitia. Di samping
itu, panitia juga mendapat jatah yang sama dengan warga lainnya. Dengan
demikian, panitia mendapat tambahan jatah pembagian qurban yang mereka jadikan
sebagai menu makan bersama.
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan
hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di
tempat tersebut? Atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih
di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban
adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya
itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan
mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di
luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut
hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara
penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak
(meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan
pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke
selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban
dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no.
2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380)
Kesimpulannya, berqurban dengan model
seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang
sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga
hal:
1. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu, tidak pernah
mengajarkannya.
2. Hilangnya
sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban.
3. Hilangnya
sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Demikian yang bisa kami sajikan.
Sebagai pelengkap kami sarankan untuk membaca buku:Tata Cara Qurban Tuntunan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar
hafizhahullah dari ringkasan Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh
Al Utsaimin rahimahullah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk
tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang
diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil
‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzulhijjah 1428
***
Footnote:
[1] Kafir Mu’ahid: orang kafir yang
mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid
adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari
pemerintah. Kafir Harby: orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi:
orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
[2] Sebagian orang menyamakan status
panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut
panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia
memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah
khusus dari harta zakat.
Yang benar, amil zakat tidaklah sama
dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi
beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari
shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam
mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali
radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
0 komentar:
Posting Komentar