3. Pengangkatan enam ahli musyawarah dan wasiat Umar
Ketika orang-orang melihat apa yang menimpa Umar, mereka berkata padanya, “Wahai Amirul Mukminin, angkatlah penggantimu.” Umar berkata, “Saya tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongan mereka yang ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam wafat beliau ridha kepada mereka. Maka dia menyebut nama Ali, Utsman, Zubair, Thalha, Sa’ad dan Abdurrahman. Selanjutnya dia berkata, “Abdullah bin Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ketangan Sa’ad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja diantara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhianat.”
Selanjutnya Umar berkata, “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada penduduk seluruh wilayah karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali kelebihan harta mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadnya agar menunaikan perjalanan kepada ahlu Dzimmah (Warga non muslim yang wajib terkena pajak), yaitu orang-orang dibawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu Alahi wa Sallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu dzimmah) yang berniat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka.”
Amr bin Maimun berkata, “Ketika Umar sudah menghembuskan nafas terakhir, kami membawanya keluar lalu kami berangkat ke rumahnya Aisyah Ummul Mukminin dengan jalan kaki. Sesampainya di sana Abdullah bin Umar mengucapkan salam kepada Aisyah Radiyallahu ‘Anha lalu berkata, “Umar bin Khaththab meminta izin.” Aisyah berkata, “Masuklah.” Maka jasad Umar di masukkan ke dalam liang lahat dan di letakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya.”
4. Pelunasan hutang Umar
Abdullah bin Umar Radiyallahu ‘Anhuma menanggung pelunasan hutang ayahnya. Sebelum Umar Al-Faruq dimakamkan, Ibnu Umar memberikan pernyataan tersebut disaksikan oleh enam orang ahli musyawarah dan beberapa orang dari kaum Anshar. Baru saja orang-orang pergi setelah Umar dimakamkan, Abdullah bin Umar langsung membawa sejumlah harta ke tempat Utsman binAffan dan menghadirkan beberapa orang untuk menjadi saksi pelunasan hutang Umar.
Abdullah bin Umar tidak sampai meminta tolong kepada siapa pun untuk melunasi hutang ayahnya, karena Umar maninggalkan warisan yang cukup banyak. Nafi’, pembantu Umar meriwayatkan, “Seorang ahli waris Umar telah menjual warisannya seharga seratus ribu dinar.”
5. Pengurusan jenazah Umar
Umar dimandikan dengan air dan pohon bidara oleh Abdullah bin Umar dan dikafani dengan tiga helai kain, lalu diangkat diatas tandu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Orang-oarang mencari siapa yang sebaiknya menjadi imam dalam shalat jenazah Umar, lalu mereka teringat akan Shuhaib yang pernah menjadi imam mereka dalam shalat wajib atas perintah Umar. Maka mereka pun mempersilakan Shuhaib untuk mengimami shalat jenazah di masjid Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, di antara makam dan kiblat.
Yang turun ke dalam liang lahatnya adalah Abdullah bin Umar, Utsman bin Affan, Sa’ad bin Zaid, dan Abdurrahman bin Auf. Umar dimakamkan di rumah Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Jika kepala Abu Bakar dibuat sejajar dengan pundak Rasulullah, maka kepala Umar dibuat sejajar dengan pinggang beliau.
6. Pujian untuk Umar dan ungkapan duka atasnya
Ketika Umar telah dibaringkan di atas tandu, Ali bin Abi Thalib berdoa untuk Umar, lalu berkata, “Tidak ada yang lebih saya sukai mendahuluiku menghadap Allah dengan amalannya selain engkau. Demi Allah, menurut saya Allah akan menempatkanmu bersama dua orang shahabatmu. Saya banyak mendengar Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam berkata, “Saya, Abu Bakar, Umar pergi… Saya, Abu Bakar, dan Umar masuk… Saya, Abu Bakar, dan Umar keluar..”
Abu Wa’il, murid Ibnu Mas’ud, berkata, “Abdullah bin Mas’ud datang ke tempat kami (di Kufah). Lalu dia menyampaikan kabar duka tentang wafatnya Umar. Tidak pernah saya melihatnya menangis dan bersedih selama itu sebelumnya. Dia kemudian berkata, “Demi Allah, seandainya saya tahu Umar menyukai anjing, pasti saya akan ikut menyukainya. Demi Allah, saya rasa sebatang pohon pun akan merasa kehilangan Umar.”
Sa’id bin Zaid menangis karena wafatmya Umar. Seseorang bertanya padanya, “Wahai Abul Ali’war, apa yang membuatmu menangis?’ Sa’id menjawab, “Saya menangisi Islam. Sesungguhnya wafatnya Umar membuat sumbing Islam dan tidak dapat diperbaiki samapai hari kiamat.”
Abdullah bin Salam datang setelah Umar selesai dishalatkan. Maka dia berdiri di samping tandunya dan berkata, “Saudara Islam yang paling baik adalah engakau wahai Umar, pemurah dalam yang hak dan bakhil dalam kebatilan, ridha pada saat harus merasa ridha, dan marah pada saat harus marah, menghindari segala hal syubhat, memiliki perangai yang baik, tidak suka terlalu memuji dan tidak juga membicarakan keburukan orang.”
Hasan Al-Bashari berkata, “Jika ada sebuah keluarga yang tidak merasa kehilangan atas wafatnya Umar, maka mereka itu keluarga yang buruk.”
Ja’far Ash-Shiddiq berkata, “Saya berlepas tangan dari oarang yang membicarakan Abu Bakar dan Umar kecuali tentang kebaikan mereka.”
Muhammad bin Sirin mengatakan, “Menurut saya, orang yang menjelek-jelekan Abu Bakar dan Umar berarti tidak mencintai Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam.”
7. Usia Umar dan masa kekhalifahannya
Peristiwa penusukan Umar Radiyallahu ‘Anhu terjadi pada waktu subuh hari Rabu, empat hari terakhir dari bulan Zulhijjah tahun 23 H. dan dimakamkan pada hari Ahad, awal Muharram tahun 24 H. usianya waktu itu mencapai 63 tahun seperti usia Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam dan Abu Bakar ketika keduanya meninggal dunia.
8. Keluarga Umar
Jumlah istri yang pernah dinikahi Umar baik pada masa Jahiliyah maupun pada masa Islam, baik yang sudah diceraikan maupun yang ditinggal wafat, ada 7 orang yaitu Jmilah binti Tsabit bin Abil Aqlah, Zainab binti Mazh’un, Atikah binti Zaid, Qaribah binti Abi Umayyah, Mulaikah binti Jarwal, Ummu Hakim binti Al-Harits, Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib.
Umar memiliki dua budak perempuan, yaitu Fukaihah dan Luhayyah.
Sementara putra-putrinya berjumlah 13 orang, yaitu: Abdullah, Abdurrahman Al-Akbar, Abdurrahman Al-Wasath, Abdurrahman Al-Ashghar, Zaid Al-Akbar, Zaid Al-Ashghar, Ubaidillah, Ashim, Iyadh, Hafshah, Ruqayyah, Fathimah, dan Zainab.
Umar juga memiliki beberapa pelayan, yaitu: Aslam, Hani’, Abu Umayyah, Mahja’, Malikuddar, dan Dzakwan.
Inilah dia tokoh besar yang tidak sempat kita temui di jalan-jalan Madinah Munawwarah untuk menyaksikan karakternya, keagungannya, dan kemuliaannya yang memenuhi ruang dan waktu. Namun Alhamdulillah kita dapat menyaksikan beberapa cuplikan dari kehidupannya, mengenal hidangannya yang tidak diisi dengan makanan-makanan lezat, yang penuh dengan kemuliaan dan kepahlawanan.
Itulah Umar bin Khaththab, mukjizat Islam dalam pembentukan hukum, kebanggaan sejarah, tokoh dunia, dan pendiri negara Islam yang bersinar.
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya kepada Abu Hafsh Amirul mukminin dan memasukkan kita ke dalam golongannya.
0 komentar:
Posting Komentar