بسم الله الرحمن
الرحيم
Terkadang ada hadits yang sanadnya dha’if namun matan (isi) haditsnya
benar. Sanad yang dha’if tidak lantas menjadikan matan haditsnya cacat. Bila
matan hadits tersebut didukung oleh dalil-dalil lain yang shahih, meski
sanadnya ada cacat, maka matan hadits tersebut kita terima.
Contohnya hadits berikut ini :
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به
“Tak akan sempurna iman kalian, hingga hawa nafsu kalian tunduk terhadap
risalah yang saya sampaikan.”
Hadits ini dibawakan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya. ”
al-arba’iin”, yang masyhur dengan sebutan “Arba’iin An-Nawawiyyah” . Beliau
mengatakan,” Hadits ini Shahih.” Begitu pula Abu Nu’aim membawakan hadits ini
dalam kitabnya ” al-arba’iin” . Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani
dan yang lainnya.
Namun Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah memberi sanggahan
terhadap pernyataan Imam Nawawi di atas dalam kitab beliau ” Jaami’ Al-‘uluum
wal Hikam” , bahwa hadits ini sanadnya dha’if. Begitu pula ulama hadits
lainnya menilai bahwa sanad hadits ini dha’if.
Meski demikian, matan daripada hadits ini benar adanya. Hal ini karena
ada dalil yang membenarkan konteks daripada hadits ini. Diantaranya adalah
firman Allah ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ
حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
” Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
An-Nisa: 65)
Dan juga firman Allah ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
” Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Contoh yang lain hadits yang berbunyi,
علماء أمتي كأنبياء بني إسرائي
” Ulama di kalangan umatku bagaikan Nabi di kalangan Bani Israil.”
Imam Ash-Suyuti mengatakan dalam kitabnya “Ad-durar” bahwa hadits ini
tidak ada asalnya. Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa hadits ini tidak ada
asalnya.
Begitu pula ulama lainnya seperti Ad-Dumairi, Az-Zarkasyi dan yang
lainnya. (Lihat: Kasyful Hunafa’: 2/64, Al-Aliya Al-Mansturah fil Haditsi
Al-Masyhurah: 1/167 dan Ad-Durar Al-Mansturah fil ahaditsi Al-Masyhurah: 1/14)
Namun, meski dari sisi sanad hadits ini tidak bisa dipertanggungjawabkan,
akan tetapi pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan :
ولهذا جاء في حديث لكنه ضعيف: عُلَمَاءُ
أُمَّتِيْ كَأَنْبِيَاءِ بَنِيْ إِسْرَائِيْل. معناه صحيح لكنه ضعيف من حيث إنه
مسند إلى النبي صلى الله عليه وسلم
Oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits yang statusnya dha’if : ”
Ulama di kalangan umatku bagaikan Nabi di kalangan Bani Israil.” Maknanya
benar, namun bila ditinjau dari sisi sanad bersambungnya sampai ke Nabi hadits
ini dha’if.” (Syarh Arba’in An-Nawawiyyah, karya beliau. Hadits ke 40)
Di antara hadits shahih yang membenarkan matan daripada hadits ini
adalah,
العلماء هم ورثة الأنبياء
” Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR. Bukhari, Al-Hakim, Ibnu Majah,
Tirmidzi)
Contoh lainnya adalah hadits dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, ”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من
لزم الاستغفار جعل الله له من كل هم فرجا ومن كل ضيق مخرجا ورزقه من حيث لا يحتسب
“Barangsiapa yang senantiasa beristighfar maka Allah menjadikan
kesedihannya berubah bahagia, tiap kesempitannya ada jalan keluar, dan diberi
rezeki dari jalan yang tidak disangka.”
Para ulama hadits menilai bahwa hadits ini statusnya dha’if. Syaikh
Albani misalnya, beliau menggolongkan hadits ini termasuk dalam hadits-hadits
yang dha’if. (Lihat: Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’iifah wal maudhu’ah, 2/142).
Begitu pula At-Tabrani mendha’ifkan status sanad hadits ini (lihat: Al-Mu’jam
Al-Ausath, 6/240). Begitu pula Imam Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi (3/35, no:
6651).
Meski sanadnya dha’if, pesan yang disampaikan dalam hadits ini benar
adanya. Karena ada dalil-dalil kuat yang membenarkan matan daripada hadits ini.
Diantaranya adalah firman Allah ta’ala,”
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ
غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَاراً . وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً
(نوح: 10-12)
“Aku (Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb
kalian, sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada
kalian hujan yang
lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta anak-anakmu, juga
mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh: 10-12 )
Dan sabda Nabi Shallallahualaihiwasallam yang maknanya sama dengan hadits
di atas, hanya saja beda redaksi,
مَنْ أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ
اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ
مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ”
“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan
keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya dan
rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” ( HR. Ahmad dari Ibnu Abbas
dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir )
Syaikh ‘Utsaimin pernah ditanya mengenai status keshahihan hadits ini.
Lantas beliau menjawab,
أولاً هذا الحديث ضعيف ولكن معناه صحيح لأن الله
تعالى قال (وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ
مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ) وقال
تعالى عن هود (وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى
قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ) ولا شك أن الاستغفار سبب لمحو الذنوب
وإذا محيت الذنوب تخلفت آثارها المرتبة عليها وحينئذٍ يحصل للإنسان الرزق والفرج
من كل كرب ومن كل هم فالحديث ضعيف السند لكنه صحيح المعنى نعم.
“Pertama hadits ini dha’if akantetapi maknanya benar. Karena
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا
إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ
ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
” Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat
kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi
kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan
dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan
(balasan) keutamaannya.” (QS. Hud:3)
Dan firman Allah ta’ala tentang kisah Hud,
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ
تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً
إِلَىٰ قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (Hud berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu
bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu,
dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu
berpaling dengan berbuat dosa.” (QS. Hud: 52)
Tidak diragukan lagi bahwa istighfar merupakan sebab terhapusnya dosa.
Jika dosa telah terhapus maka akan memberikan dampak yang bermacam-macam.
Terkadang seorang yang terampuni dosanya ia akan mendapat rizki dab kebahagiaan
dari setiap kesusahan dan kesedihan hidupnya. Maka hadits ini (memang) dha’if
namun maknanya benar.” (Fatawa nurun ‘ala Ad-Darb li Al-‘Utsaimin)
Jadi tidak setiap hadits yang bersanad dha’if lantas kita tolak begitu
saja, tanpa melihat kebenaran matan hadits tersebut. Kita lihat dulu matan
haditsnya, apakah ada ayat atau hadits shahih yang membenarkannya ataukah
tidak. Bila tidak maka baru kita tolak. Bila ada maka matan hadits tersebut
kita katakan benar, hanya saja sanadnya dha’if.
Syaikh Ibrahim bin Shalih Al-Khuraishiy mengatakan,
وهنا ينتبه طالب العلم إلى أنه ليس كل ما قيل فيه
إنه حديث ضعيف أن معناه لا بد أن يكون كذلك، بل ربما كان معناه معمولا به بإجماع
العلماء؛ فتأمل وراجع
” Ini perlu diperhatikan oleh para penuntut ilmu, bahwa tidak setiap
hadits yang dinilai dha’if (sanadnya) lantas maknanya (matannya) juga otomatis
ikut dha’if. Boleh jadi maknanya bisa diamalkan dengan kesepakatan para ulama..
Maka perhatikanlah hal ini dan pelajarilah.” ( At-Tanbihat Al-Mukhtasharah
syarh Al-Wajibaat Al-Mutahatimaat Al-Ma’rifah ‘ala kulli muslim wa muslimatin,
hal: 57)
0 komentar:
Posting Komentar